Selasa, 23 April 2013

BERSALAMAN SAMBIL BACA SHOLAWAT BUKAN BID’AH TAPI SUNNAH



Belakangan ini muncul sebuah aliran yang menyerang kaum muslimin Indonesia dengan membid’ahkan dan menyesatkan hanya karena berbeda pemahaman dalam hal khilafiyah dan furu’iyah. Diantara yang di bid’ahkan oleh mereka adalah kebiasaan ummat islam Indonesia berjabatan tangan sambil membaca sholawat setelah sholat dan setelah mengadakan perkumpulan berupa pengajian atau semisalnya. Lewat tulisan singkat ini saya ingin menjawab tuduhan mereka dan ingin memberikan dukungan kepada saudaraku yang sudah terbiasa berjabatan tangan sambil membaca sholawat kepada nabi Muhammad SAW agar amalan tersebut terus di amalkan.
Rasulullah SAW bersabda sebagai berikut:
عن انس عن النبي صلى الله عليه وسلم, قال: مامن عبدين متحابين فى الله يستقبل أحدهما صاحبه فيتصافحان ويصليان على النبي صلى ألله عليه وسلم الا لم يتفرقا حتى تغفر ذنوبهماماتقدم منهاوما تأخّر. أخرجه أبويعلى والبيهقى فى شعب الايمان
Artinya: “tidaklah dua orang hamba yang saling mencintai di jalan Allah saling berhadapan lalu berjabatan tangan dan bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW, kecuali pasti mereka tidak berpisah sebelum diampuni dosanya baik yang terdahulu maupun yang kemudian” (HR Abu Ya’la dalam musnadnya dan Baihaqi dalam Syu’abul Iman.)

Menurut hadis diatas bahwa berjabatan tangan sambil membaca sholawat maka dosa dosa mereka diampuni Allah SWT. Dari keterangan hadis inilah yang dijadikan sumber rujukan oleh ummat Islam Indonesia, bahwa setelah mereka mengadakan pengajian lalu berjabatan tangan sambil membaca sholawat, setelah menjalankan sholat lima waktu pun ummat Islam Indonesia sudah terbiasa berjabatan tangan sambil membaca sholawat صلى ألله محمد   . ketahuailah wahai saudaraku yang anti berjabatan tangan sambil membaca sholawat bahwa amaliah tersebut bukan bid’ah tetapi sunnah, sebagaimana yang di sabdakan oleh Rasulullah SAW

Ketahuilah bahwa keberadaan kalian di tengah ummat akan merusak perpecahan persaudaraan karena ulah kalian yang membid’ahkan dan menyesatkan amaliah saudaramu, padahal amaliahnya tidak bertentangan dengan syari’at.

Ketahuilah wahai saudaraku ummat Islam Indonesia yang sudah terbiasa berjabatan tangan setelah sholat 5 waktu dan setelah pengajian maka terus lakukan, karena perbuatan tersebut berdasarkan hadis Rasulullah SAW.

Hikmah ummat Islam selalu berjabatan tangan adalah akan melunturkan permusuhan dan kekerasan hati diantara mereka. Dengan demikian akan terus terbina persaudaraan dan keramahan dalam bersikap dan bergaul dengan satu sama lain.

20 komentar:

  1. Assalamu'alaikum
    mohon bertanya, kegiatan seperti itu adakah dalilnya?
    Terima kasih atas jawabannya
    wassalam
    karnadi kasan sardji

    BalasHapus
  2. Itu dalilnya sudah di atas mau apa lagi

    BalasHapus
  3. Itu dalilnya sudah di atas mau apa lagi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bedakan bersalaman yg dimaksud hasist tsb dengan paket yg di biasakan nabi sehabis shalat, yg salah.. seolah olah bersalaman sehabis shalat adalah paket kebiasaan nabi sehabis shalat

      Hapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. sebenarnya saya masih belum puas dengan jawaban di atas, saya masih ragu, takut beribadah hanya sekedar ikut ikutan. Apakah ada penjelasan dari 4 imam? (imam syafi'i, imam hanafi, imam malik, imam hambali)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hadistnya lemah sesuai dg kitab Al imam al Uqaili, tapi Syaikh AlBani mengatakan boleh mengamalkan hadist ini karena masuk dalam fadhail amal.

      Hapus
  6. ketika tidak ada dalil yg melarangnya, lakukan saja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salat subuh dikerjakan 3 rakaat kemudian dilakukan menjelang tengah hari itu kan juga tidak ada larangannya Apakah itu boleh dilakukan?. Jadi ibadah itu tidak setiap yang tidak ada larangannya boleh dikerjakan. Karena asal ibadah itu terlarang sampai ada dalil yang memerintahkannya baru boleh dikerjakan dan cara mengerjakannya juga harus sesuai dengan tata cara yang dicontohkan bukan asal mengerjakan sesuai keinginan dan kemauan sendiri.

      Hapus
  7. Hadits diatas sudah termasuk dalil. Untuk beramal, selama itu bukan halal dan haram maka lakukan saja.

    BalasHapus
  8. Tidak semua detail dalam hidup kita ini harus ada perintahnya.
    Untuk ibadah sosial lakukan saja, tak perlu sibuk dalil2. Yg penting tidak ada dalil yg melarang silahkan.
    Klu semua ibadah sosial harus cari dalil sempit kali lah hidup kita...

    BalasHapus
  9. Tidak semua detail dalam hidup kita ini harus ada perintahnya.
    Untuk ibadah sosial lakukan saja, tak perlu sibuk dalil2. Yg penting tidak ada dalil yg melarang silahkan.
    Klu semua ibadah sosial harus cari dalil sempit kali lah hidup kita...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semua ibadah itu pasti ada dalilnya, tidak disebut ibadah kalau tidak ada dalilnya, dan rasanya tidak ada semenit pun kehidupan di dunia ini dan selangkah pun yang dilakukan di dunia ini yang tidak ada dalilnya, semua totalitas kehidupan kita dari tidur sampai tidur kembali ada dalilnya.
      Kalau asal tidak ada larangannya boleh dikerjakan maka shalat subuh dikerjakan 3 rakaat kemudian dilakukan menjelang tengah hari itu kan juga tidak ada larangannya, apakah itu boleh dilakukan?. Jadi ibadah itu tidak setiap yang tidak ada larangannya boleh dikerjakan. Karena asal ibadah itu terlarang sampai ada dalil yang memerintahkannya baru boleh dikerjakan dan cara mengerjakannya pun juga harus sesuai dengan tata cara yang dicontohkan Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam, bukan asal mengerjakan sesuai keinginan dan kemauan sendiri.
      Semua perbuatan perkataan dan tindak-tanduk kita kehidupan kita 24 jam dalam sehari dan seumur hidup kita tidak terlepas dari hukum yaitu haram halal makruh mubah. Begitu juga dengan wilayah hukum ibadah seperti wilayah ushuliyah wilayah furu'iyah wilayah khilafiyah wilayah bid'ah wilayah sunnah dan wilayah syirik.
      Asal ibadah itu seluruhnya terlarang sampai ada dalil yang memerintahkan baru boleh dikerjakan. Jika kita ingin menyandarkan perbuatan itu sebagai ibadah maka kita harus berhenti melakukannya dan menunggu sampai ada dalil yang memerintahkannya dan baru kita melakukannya setelah jelas dalilnya, sebab kalau ibadah tidak ada dalilnya akan terjerumus kepada perbuatan yang tidak diperintahkan yaitu bid'ah.

      Dalil yang boleh kita pegang dan boleh kita amalkan hanya berkisar antara Shahih dan Hasan, adapun jika dhaif bahkan maudhu' dan mungkar itu haram kita lakukan.

      Dalam kaitannya dengan ibadah sosial itu justru sangat banyak dalilnya karena berkaitan dengan hak-hak sesama manusia bahkan kepada sesama makhluk yang ada di alam jagat raya ini, namun dalilnya lebih banyak bersifat umum baik dari Alquran maupun sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Misalnya surat Luqman Ayat 18 melarang kita memalingkan wajah Saat berjumpa kepada manusia secara umum apalagi jika diiringi dengan sifat angkuh dan sombong serta membanggakan diri dan meremehkan manusia serta merendahkannya.

      وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

      “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Lukman: 18).
      Begitu juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Dzar radhiyallahu anhu,

      لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

      “Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun juga walau engkau bertemu saudaramu dengan wajah berseri” (HR. Muslim no. 2626).

      Dalam riwayat lain disebutkan, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda kepada Jabir bin Sulaim radhiyallahu anhu,

      وَلاَ تَحْقِرَنَّ شَيْئًا مِنَ الْمَعْرُوفِ وَأَنْ تُكَلِّمَ أَخَاكَ وَأَنْتَ مُنْبَسِطٌ إِلَيْهِ وَجْهُكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنَ الْمَعْرُوفِ

      “Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun walau hanya berbicara kepada saudaramu dengan wajah yang tersenyum kepadanya. Amalan tersebut adalah bagian dari kebajikan.” (HR. Abu Daud no. 4084 dan Tirmidzi no. 2722. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan bahwa hadits ini shahih).

      Yang perlu disadari, jika amalan hati berupa suuzon atau niat baik atau niat buruk saja terdapat dalilnya dengan jelas dan tegas, maka bagaimana dengan amalan yang bersifat dzohir yang sudah dilakukan oleh anggota badan tentu amaliah itu lebih banyak terdapat dalil sebagai sandaran dalam beribadah. Wallahu a'lam.

      Hapus
    2. Semua ibadah itu pasti ada dalilnya, tidak disebut ibadah kalau tidak ada dalilnya, dan rasanya tidak ada semenit pun kehidupan di dunia ini dan selangkah pun yang dilakukan di dunia ini yang tidak ada dalilnya, semua totalitas kehidupan kita dari tidur sampai tidur kembali ada dalilnya.
      Kalau asal tidak ada larangannya boleh dikerjakan maka shalat subuh dikerjakan 3 rakaat kemudian dilakukan menjelang tengah hari itu kan juga tidak ada larangannya, apakah itu boleh dilakukan?. Jadi ibadah itu tidak setiap yang tidak ada larangannya boleh dikerjakan. Karena asal ibadah itu terlarang sampai ada dalil yang memerintahkannya baru boleh dikerjakan dan cara mengerjakannya pun juga harus sesuai dengan tata cara yang dicontohkan Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam, bukan asal mengerjakan sesuai keinginan dan kemauan sendiri.
      Semua perbuatan perkataan dan tindak-tanduk kita kehidupan kita 24 jam dalam sehari dan seumur hidup kita tidak terlepas dari hukum yaitu haram halal makruh mubah. Begitu juga dengan wilayah hukum ibadah seperti wilayah ushuliyah wilayah furu'iyah wilayah khilafiyah wilayah bid'ah wilayah sunnah dan wilayah syirik.
      Asal ibadah itu seluruhnya terlarang sampai ada dalil yang memerintahkan baru boleh dikerjakan. Jika kita ingin menyandarkan perbuatan itu sebagai ibadah maka kita harus berhenti melakukannya dan menunggu sampai ada dalil yang memerintahkannya dan baru kita melakukannya setelah jelas dalilnya, sebab kalau ibadah tidak ada dalilnya akan terjerumus kepada perbuatan yang tidak diperintahkan yaitu bid'ah.

      Dalil yang boleh kita pegang dan boleh kita amalkan hanya berkisar antara Shahih dan Hasan, adapun jika dhaif bahkan maudhu' dan mungkar itu haram kita lakukan.

      Dalam kaitannya dengan ibadah sosial itu justru sangat banyak dalilnya karena berkaitan dengan hak-hak sesama manusia bahkan kepada sesama makhluk yang ada di alam jagat raya ini, namun dalilnya lebih banyak bersifat umum baik dari Alquran maupun sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Misalnya surat Luqman Ayat 18 melarang kita memalingkan wajah Saat berjumpa kepada manusia secara umum apalagi jika diiringi dengan sifat angkuh dan sombong serta membanggakan diri dan meremehkan manusia serta merendahkannya.

      وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

      “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Lukman: 18).
      Begitu juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Dzar radhiyallahu anhu,

      لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

      “Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun juga walau engkau bertemu saudaramu dengan wajah berseri” (HR. Muslim no. 2626).

      Dalam riwayat lain disebutkan, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda kepada Jabir bin Sulaim radhiyallahu anhu,

      وَلاَ تَحْقِرَنَّ شَيْئًا مِنَ الْمَعْرُوفِ وَأَنْ تُكَلِّمَ أَخَاكَ وَأَنْتَ مُنْبَسِطٌ إِلَيْهِ وَجْهُكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنَ الْمَعْرُوفِ

      “Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun walau hanya berbicara kepada saudaramu dengan wajah yang tersenyum kepadanya. Amalan tersebut adalah bagian dari kebajikan.” (HR. Abu Daud no. 4084 dan Tirmidzi no. 2722. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan bahwa hadits ini shahih).

      Yang perlu disadari, jika amalan hati berupa suuzon atau niat baik atau niat buruk saja terdapat dalilnya dengan jelas dan tegas, maka bagaimana dengan amalan yang bersifat dzohir yang sudah dilakukan oleh anggota badan tentu amaliah itu lebih banyak terdapat dalil sebagai sandaran dalam beribadah. Wallahu a'lam.

      Hapus
  10. Assalamu'alaikum
    Apakah sama kata DAN pada sabda Rasul dengan kata SAMBIL pada penjelasannya

    BalasHapus
  11. Sy kira yg nulis ini adalh muslim nusantara. Pnganut islam nusantara seprtinya setiap amal itu boleh dolakukn asal positif dinilainya meski tiada dasar syar'inya. Mari kita bahas sedikit ttang jabat tngn stlh salat. Jangn lakukn ini. Setlh salat, zikirlah. Nanti jabat tngn stlh selesai dzikir.jngn sujud syukur atau baca hamdalah setlh salam. Dzikirlah dgn bacaan yg dibaca ulama sunnsh/pengidola salavusalih. Cek kbenaran dzikir yg dibaca atau diajrkn muslim nusantara.

    BalasHapus
  12. Muslim sunnah beda dgn muslim nusantara. Yg sunnh berhati hsti dlm betibadah spiritual. Kalau urusan sosial, asal pisitif, okelah. Kalau muslim nusantra, ah lihat saja di sekitar kita. Praktik spititual hindu pun dilakuln. Ulama sunnah idolakn para salafusalih sebab keislaman meteka hebat. Kalau muslim nusantsra suka nambah nbah. Kalau dibolang itu tak ada tuntunan ,mereka tersinggung. Kata meteka ah ini bidah, itu bidah. Terus kami sesat, terus masuk neraka? Allahu a'lam.

    BalasHapus
  13. Kalau toh itu membuat hati kita lebih damai dalam persaudaraan dan selagi tdk ada dalil dalam Alquran melarangx ya sah2 saja..

    BalasHapus
  14. Saya tidak mengajak salaman habis shalat.tapi kadang di samping ada yang ngajak salaman.yah saya salamin.apakah itu salah.

    BalasHapus
  15. Ibadah itu ada ibadah mahdloh dan ghoiru mahdloh (aam).
    Dalam ibadah mahdloh diperlukan dalil yg memerintahkanmya termasuk tata cara maupun waktu pelaksanaannya.
    Sedangkan ibadah ghoiru mahdloh (aam) semua boleh dilakukan kecuali yg jelas2 dilarang.

    BalasHapus