Pengertian Imam
Kata
imam dalam bahasa arab artinya orang yang diikuti atau yang dikedepankan dalam
satu urusan. Nabi adalah imam segala imam. Khalifah adalah imam bagi rakyat
islam. Al Qur’an adalah imam bagi kaum muslimin. Komandan adalah imam bagi
tentara.
Kata
imam jamaknya adalah a’immah. Imam dalam sholat adalah orang yang
tampil didepan untuk diikuti seluruh gerakan dalam sholatnya. Kata imam adalah
yang dikuti oleh orang banyak, baik dalam posisinya sebagai ketua dan
sejenisnya, baik dengan cara yang sah ataupun batil. Diantaranya adalam imam dalam
sholat. Imam juga bisa berarti seorang
ulama yang menjadi panutan. Imam dari segala sesuatu adalah bagian yang
bernilai dan baik dari seuatu tersebut.[1]
Sedangkan makna kualitas adalah mutu yang ada pada diri manusia dan
sekaligus menjadi sifat-sifat pribadinya. Dari definisi diatas dapat di fahami
bahwa imam yang berkualitas adalah mutu yang ada pada imam itu sendiri, baik
bermutu dalam bacaannya dan bermutu dalam pemahaman ilmu yang berkaitan dengan syari’ah
dan sunnah-sunnah Nabi Muhammad SAW.
Untuk menjadi imam sholat yang berkualitas cukup kita membahas
sebuah hadis yang bersumber dari Abu Mas’ud Al Anshari. Rasulullah SAW
bersabda:
يؤم
القوم اقرؤهم لكتاب الله فانكنوا فى القرائة سواء فأعلمهم بالسنة فانكنوا فى السنة
سواء
فأقدمهم هجرة فانكنوا فى الهجرة سواء فأقدمهم
سلما
Artinya: “yang berhak mengimami sholat adalah orang yang paling
bagus bacaan Al Qur’an. Kalau dalam Al Qur’an kemampuannya sama, maka di pilih
yang paling mengerti tentang ajaran sunnah (Fiqh). Kalau dalam sunnah juga
sama, maka di pilih yang lebih dulu berhijrah. Kalau dalam berhijrah juga sama,
maka di pilih yang lebih dulu masuk Islam.
Dari hadis diatas dapat difahami bahwa untuk menjadi imam sholat
yang berkualitas adalah seorang imam harus fasih dalam membaca Al Qur’an.
Dengan ini menunjukkan secara tegas bahwa orang yang paling bagus bacaan Al
Qur’annya didahulukan dari orang yang lebih dalam ilmu fiqihnya.
Seorang imam yang bagus bacaannya apalagi di hiasi dengan merdua
suaranya maka akan terasa khusu’ dalam beribadah, yang khusu’ tidak hanya imam
itu sendiri akan tetapi makmum pun ikut merasakan khusu’. Dapat kita bayangkan
bagaimana kalau imamnya rusak bacaan Al Qur’annya maka terganggulah ibadah kita
di hadapan Allah SWT. Hendaknya seorang imam membaca Al Qur’an dengan tartil,
sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an surat Al Muzammil ayat 4.
Artinya: Atau lebih dari seperdua itu. dan bacalah Al Quran itu
dengan perlahan-lahan.
Maksudnya adalah perintah membaca Al Qur’an bukan sekedar dengan
cara sekedar tartil, akan tetapi dengan tartil yang benar-benar berkualitas.
Menurut Ali bin Abi Thalib tartil disini mempunyai arti “membaguskan bacaan
huruf-huruf Al Qur’an dan mengetahui hal ihwal waqaf”. Dengan demikian,
maksud tartil yang optimal adalah melafazkan ayat-ayat Al Qur’an sebagus dan
semaksimal mungkin.[2]
Bahkan seorang imam yang berkualitas adalah memiliki suara yang merdu supaya makmum merasa khusu’ dalam beribadah. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
زينوا
القرأن بأصواتكم فأنّ الصوت الحسن يزيد
القرأن حسنا
Artinya: Perindahlah Al Qur’an dengan suara kamu, Karena suara
yang bagus menambah keindahan Al Qur’an.[3]
Beliau
juga bersabda:
أنّ
من أحسن ألناس صوتا بالقرأن الذى سمعتموه يقرأ حسبتموه يخشى ألله
Artinya: “Orang yang paling baik suaranya dalam membaca Al
Qur’an yaitu bila engkau dengarkan bacaannya, engkau mengira dia orang yang
takut kepada Allah.[4]
Dari sini dapat di fahami bahwa membaguskan suara dalam membaca Al
Qur’an adalah sunnah, karena dengan membaca Al Qur’an dengan suara yang indah
dan tartil maka akan menunjukkan kalau imam tersebut menjadi imam yang
berkualitas dan patut diperhitunkan.
Yang tak kalah penting lagi adalah kalau seorang imam yang
mengimami sholat jum’at maka dia harus memahami mana surat-surat yang sering
dibaca Nabi dan dianjurkan dalam mengimami sholat ketika setelah selasai
membaca surat Al fatihah setiap raka’at. Diantara surat yang sering dibaca oleh
Rasulullah setelah membaca surat Al Fatihah pada raka’at pertama adalah surat
Al Jumu’ah sedangkan pada rakaat kedua setelah membaca surat Al Fatihah adalah
surat Al Munafikun. Dalam sebuah riwayat di jelaskan dan sebagaimana dishohehkan
oleh Abi Rafi’: Saat di Madinah marwan membelakangi Abu Hurairah dan keluar
menuju Makkah maka kami solat jum’ah bersama Abu Hurairah, maka Abu Hurairah
membaca surat Al Jumu’ah pada raka’at pertama dan pada raka’at yang kedua surat
Al Munafikun. Berkata Marwan maka aku mendapati (mendekati) abu Hurairah dan
aku berkata kepadanya: “sesungguhnya engkau membaca dua surat (Al Jumu’ah dan
Al Munafiqun) seperti Ali bin Abi Thalib yang membaca dengan dua surat tersebut
di Kufah. Maka Abu Hurairah berkata:
أنّى
سمعت رسول الله صلّى الله عليه والسلم يقرأ بهما يوم الجمعة
Artinya: “Sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah Saw
membaca kedua surat (Al Jumu’ah dan Al Munafiqun) pada sholat Jum’at.[5]
Dalam
keterangan yang lain, dari Nu’man bin Basyir berkata:
كان
رسول الله صلى الله عليه والسلم يقرأ فى
العيدين وفى الجمعة سبح أسم ربك ألأعلى وهل أتاك حديث الغاشية
Artinya: “Adapun Rasulullah SAW pernah membaca pada sholat dua
id (Idul fitri dan idul Adha) dan sholat jum’at sabbihismarabbikal a’la dan hal
ataka haditsul gasyiah.[6]
Didalam kitab Halaqoturrobi’ah bahwa membaca bahwa disunnahkan
membaca surat Al Jumu’ah pada rakaat pertama setelah membaca surat Al fatihah dan
membaca surat Al Munafiqun pada rakaat kedua setelah membaca surat Al fatihah.
Atau dirakaat pertama membaca surat sabbihismirabbikal a’la dan rakaat
kedua surat Al Ghasiyah.[7]
Kalau dalam Al Qur’an kemampuannya sama, maka dipilih yang paling
mengerti tentang ajaran sunnah atau fiqh. Mempunyai kedalaman pengetahuan
masalah fiqh menjadi keharusan bagi seorang imam sholat, apalagi fiqh tata cara
solat. Sebab seorang imam akan memimpin banyak orang dalam sholatnya. Imam sebelum
memulai solatnya maka dia harus menganjurkan makmumnya untuk meluruskan dan
merapatkan barisan sholatnya. karena merapatkan barisan sholat merupakan syarat
kesempurnaan sholatnya. Sebagaimana hadis Nabi SAW yang bersumber dari Anas ra,
beliau bersabda:
سووا
صفوفكم فأنّ تسوية الصفوف من اقامة الصلاة
Artinya: “luruskan shaf kalian, karena meluruskan shaf termasuk
menegakkan sholat (berjama’ah)[8]
Bahkan
dalam lafaz yang lain imam Muslim meriwayatkan
....... من تمام الصلاة
Artinya:
karena meluruskan shaf termasuk kesempurnaan sholat berjama’ah.[9]
Seorang imam sholat diwajibkan memahami rukun-rukun sholat,
syarat-syarat sholat, sunnah-sunnah sholat dan sesuatu yang membatalkan sholat.
Dengan demikian maka seorang imam telah menjadikan dirinya menjadi imam yang
berkualitas dan mampu membawa jama’ahnya dalam kekhusuan untuk beribadah di
hadapan Allah SWT.
Begitupun juga hukum-hukum fiqh lain yang terjadi dalam mendirikan sholat
yang harus di kuasai oleh seorang imam sholat. Dapat kita bayangkan kalau
seorang imam tidak memahami hukum fiqh yang terkandung dalam perintah sholat, Seharusnya
sholatnya batal karena (maaf) buang angin atau yang lain, hanya karena imamnya
tidak mengerti fiqh shalat, maka dia tidak membatalkan shalat. Kalau seperti
ini imam-imam kita maka celaka dan musibah yang ada.
Kalau
dalam sunnah (Fiqh) juga sama, maka yang di pilih adalah yang lebih dulu
berhijrah. Hijrah di dahulukan dalam pemilihan imam tidaklah di khususkan pada
hijrah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW pada masa beliau. Tetapi yang
dimaksud adalah hijrah yang tidak akan pernah terputus hingga hari kiamat
sebagaimana ditegaskan dalam banyak hadis dari negeri kafir ke negeri Islam
demi menjalankan ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah. Maka orang yang
lebih dahulu melakukan hijrah tersebut, didahulukan menjadi imam, karena ia
lebih dahulu melakukan ketaatan. Sebagian ulama ada juga yang mengartikan bahwa
yang paling dahulu hijrahnya adalah pribumi atau orang yang pertama tinggal di
kampung tersebut. Alasannya adalah karena mereka lebih tau kondisi masyarakat
yang menjadi makmumnya.
Kalau dalam
berhijrah juga sama, maka di pilih yang lebih dulu masuk Islam. Dalam riwayat
yang lain disebutkan yang paling tua usianya atau yang paling tinggi usianya.
Usia di sini berkaitan dengan kemuliaan keislaman yang lebih dahulu. Karena
orang yang lebih tinggi usianya berarti lebih lama keislamannya dibandingkan
yang lebih rendah usianya. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah bersabda dalam
sebuah hadis yang di riwayatkan oleh imam Muslim dan imam Bukhari:
فأذا
حضرة الصلاة فليئذن لكم أحدكم ثم ليؤمّكم أكبركم
Artinya: “Apabila datang waktu sholat, hendaknya salah seorang di
antara kalian mengumandangkan adzan dan salah seorang diantara kalian yang
paling tua usianya menjadi imam.[10]
Dari sini dapat di fahami yang paling tua, karena dalam semua kriteria
dan persyaratan lainnya mereka setara. Karena mereka semua pernah berhijrah
bersama-sama. Dan mereka menemani Rasulullah SAW dan mneyertainya selama dua
puluh malam, sehingga dalam hak sebagai imam juga sama. Maka yang tersisa untuk
diambil sebagai kriterianya adalah factor usia.
Nah, dari uraian singkat di atas, agar kita menjadi imam sholat
yang berkualitas adalah menjadi lima tingkatan; pertama, dahulukan yang terbaik
bacaannya, lalu yang paling ahli di bidang hadis Nabi Muhammad SAW, yang paling
dahulu melakukan hijrah, yang paling pertama masuk Islam dan yang paling tua
usianya.
Diantara yang bisa menjadikan seorang imam yang berkualitas juga
terdapat adab-adab yang harus difahami dan dapat diamalkan. Diantaranya adalah
:
a.
Melaksanakan
shalat dengan ringkas tetapi tetap sempurna dan optimal
Rasulullah
SAW bersabda:
أذا
أمّ احدكم الناس فليخفف, فأنّ فيهم الصغير, والكبير, والضغيف, والمريض, (وذا
الحاجة) فأذا صلى وحده فليصل كيف شاء
Artinya: “Kalau salah seorang diantara kalian mengimami sholat,
hendaknya ia melakukannya dengan ringkas, karena diantara jama’ah itu ada anak
kecil, orang tua, orang lemah dan orang sakit (orang yang mempunyai kebutuhan).
Tetapi kalau ia mau sholat sendiri silakan ia sholat sekehandaknya. [11]
Selain dari hadis diatas, terdapat juga sebuah hadis dari Jabir bin
Abdillah RA yang menceritakan bahwa Mu’az bin Jabal pernah sholat isya bersama
Rasulullah SAW, kemudian ia pulang dan mengimami penduduk kampungnya. Beliau
mengimami sholat isya dan membaca surat Al Baqarah. Kejadian itu terdengar oleh
Rasulullah, maka beliau berkata kepada Mu’az:
Hai
Mu’az apakah engkau mau menjadi pembuat bencana? Begitu Rasulullah SAW bertanya
hingga tiga kali. Bacalah: “wasy-syamsi wa dhuhaaha, sabbihismarabbikal a’la,
dan wallaili idza yaghsya”. Karena yang sholat bermakmum denganmu itu ada orang
tua, orang lemah dan orang mempunyai kebutuhan.[12]
Dari dua hadis diatas cukup menjadi dalil bagi para imam untuk
tidak terlalu panjang bacaan dalam shalatnya. Sebab diantara makmum banyak
orang tua, orang sakit, anak kecil dan orang yang punya kebutuhan. Yang menjadi
ukuran bukan kemauan sang imam tapi yang menjadi ukuran adalah karena kondisi
makmum yang bermacam latar belakangnya. Bisa jadi shalat yang harusnya khusu’
menjadi rusak akibat panjang bacaan imam karena makmum terdapat kondisi yang
tidak baik. Sekiranya ingin melakukan shalat yang panjang dan lama maka solusi
yang ditawarkan adalah pada shalat sendiri dalam melaksanakan shalat sunnah,
bisa pada saat sholat tahajud atau shalat sunnah-sunnah yang lain.
Shalat ringkas itu sendiri bersifat relatif, dan itu dikembalikan
praktek yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan secara konsisten beliau
laksanakan. Sementara petunjuk yang secara konsisten beliau lakukan itu
merupakan solusi dari perbedaan pendapat dikalangan ulama. Banyak hadis-hadis
shoheh yang menjelaskan bacaan Nabi Muhammad SAW dalam shalat lima waktu. Yang
biasa di lakukan oleh Nabi Muhammad SAW adalah shalat ringkas sebagaimana
beliau perintahkan.
b.
Memperhatikan
kepentingan para makmum tapi tidak menyelisihi ajaran sunnah
Yang menjadi dalil dalam hal tersebut adalah sebuah hadis yang
bersumber dari Jabir ra, dimana Rasulullah SAW memperhatikan kepentingan
jama’ah sehingga beliau menangguhkan shalat isya apabila jama’ah belum
berkumpul. Jabir ra menceritakan: beliau melaksanakan shalat isya pada waktu
yang berbeda-beda. Apabila beliau melihat jama’ah sudah berkumpul, maka beliau
mempercepat pelaksanaan shalat berjama’ah. Kalau beliau melihat bahwa jama’ah
belum berkumpul maka beliau juga mengundurkannya.[13]
Shalat isya disini memang disunnahkan untuk dilakukan lebih malam.
Namun Nabi Muhammad SAW memperhatikan kondisi para makmum agar tidak
menyusahkan mereka, sehingga beliau melakukannya lebih cepat apabila mereka
telah berkumpul. Adapun selain shalat isya, selalu beliau lakukan di awal waktu,
terkecuali shalat zuhur bila panas terlalu terik.[14]
Dengan demikian sangat jelas bahwa kondisi para makmum juga harus
diperhatikan oleh imam, selama tidak bertentangan dengan ajaran sunnah. Di
antara indikasi adanya perhatian tersebut dari Rasulullah SAW adalah bahwa
beliau meringkas sholat begitu mendengar tangisan anak kecil, hkwatir kalau
menyusahkan ibunya. Demikian juga beliau memperpanjang rakaat pertama sholat
agar jama’ah yang terlambat tidak ketinggalan rakaat pertama.
c.
Tidak
shalat sunnah di tempat melakukan shalat wajib
Dasar dari hal tersebut adalah sebuah hadis yang besumber dari Al
Mughirah bin Syu’bah Rasulullah bersabda:
لا
يصلى الامام فى الموضع الذى صلى فيه حتى يتحول
Artinya: Janganlah imam shalat sunnah di tempat ia shalat wajib,
tetapi harus bergeser[15]
Disebutkan ada beberapa riwayat tentang dimakruhkan imam shalat
sunnah ditempat ia shalat wajib mengimami jama’ah sebelum ia bergeser dari
tempat itu. Ali bin Abi Thalib menyatakan dalam sebuah riwayat : kalau imam
sudah salam, janganlah ia shalat sunnah sebelum ia bergeser dari tempat ia shalat
wajib, atau memisahkannya dengan berbicara terlebih dahulu.[16]
Imam An Nawawi berkata: “ini mengandung dalil yang menunjukkan
kebenaran pendapat sahabat-sahabat kami bahwa shalat sunnah rawatib dan sholat
sunnah lainnya, disunnahkan untuk dilaksanakan di tempat yang berbeda dengan
sholat wajib. Dan lebih baik lagi bila dilakukan di rumah, atau paling tidak
ditempat lain di masjid atau di luar masjid afar tempat sujudnya semakin
banyak, dan dengan tujuan lain agar bisa dibedakan bentuk sholat sunnah dengan
sholat wajib. Arti ucapan: “… sebelum berbicara, “menunjukkan bahwa pemisahan
antara shalat wajib dengan shalat sunnah bisa juga dilakukan dengan berbicara.
Akan tetapi lebih baik dilakukan cara bergeser, berdasarkan apa yang telah kami
jelaskan.[17]
Dengan demikian, maka seorang imam yang berkualitas harus memahami
hadis Nabi dan dapat diamalkan dalam
setiap kali mengimami jama’ah. Sehingga jama’ah pun dapat melihat seorang imam
yang berkualitas dalam segala bidang.
d.
Menghadap
kearah makmum setelah sholat
Dasar mengenai hal tersebut diatas adalah sebuah hadis yang
bersumber dari Samurah bin Jundub yang menceritakan: “Dahulu apabila Rasulullah
selasai melaksanakan sholat, maka beliau menghadap ke arah kami.[18]
Artinya, apabila beliau telah melakukan sholat dan salam, maka
beliau menghadap kearah makmum. Karena posisi imam yang membelakangi makmum
adalah karena posisinya sebagai imam. Kalau sudah selasai sholat, hak untuk membelakangi
makmum itu sudah tidak ada lagi. Maka dengan menghadap kearah makmum pada saat
itu, akan tertepislah kesombongan dan sikap takabur di hadapan makmum.
e.
Imam
tidak boleh mengkhususkan doa baginya, lalu diamini oleh para makmum sekalian
Dasar mengenai hal yang di maksud adalah sebuah hadis yang
bersumber dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
لا يحل لرجل يؤمن بالله واليوم الاخر أن يؤم قوما
الا بأذنهم ولا يختص نفسه بدعوة دونهم فأن فعل فقد خانهم
Artinya: “Tidak halal
bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mengimami
sekelompok orang tampa izin mereka. Dan janganlah ia mengkhususkan doa untuk
dirinya sendiri tampa melibatkan orang lain. Kalau ia melakukan hal itu juga,
maka ia telah berkhianat kepada mereka.
Dari hadis diatas dapat di fahami apabila seorang imam berdo’a
kepada Allah maka seorang imam yang berkualitas harus melibatkan jama’ahnya
dalam berdo’a. Artinya harus menggunakan domir jama’ atau plural. Maka imam pun
harus memahami koidah ilmu bahasa arab supaya dapat memahami mana kalimat untuk
sendiri atau kata ganti orang pertama tunggal dan mana kalimat untuk
menunjukkan kata ganti buat jama’ah disekitar imam sholat.
Diatas sudah dijelaskan definisi
imam, dimana imam artinya adalah orang yang diikuti atau yang
dikedepankan dalam satu urusan. Nabi adalah imam segala imam. Khalifah adalah
imam bagi rakyat Islam. Al Qur’an adalah imam bagi kaum muslimin. Komandan
adalah imam bagi tentara. Berarti imam harus menjadi contoh bagi seluruh makmum
disekitarnya. Apalagi dalam melaksanakan sholat sangat hati-hati
melaksanakannya karena akan diikuti oleh makmum. Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya
imam itu diangkat untuk dijadikan sebagai ikutan, maka jangan kalian melakukan
yang berlawanan dengannya.. Bahwa yang dimaksud dengan berlawanan dalam
hadis itu adalah dalam ucapan dan perbuatan. Sebagaimana dijelaskan dalam
riwayat hadis lain :
أنّما
جعل الأمام ليؤتم به, فأذا كبّر فكبّروا ولاتكبروا حتى يكبر, وأذا ركع فاركعوا ولا
تركعوا حتى بركع, وأذا قال سمع الله لمن حمده فقولوا : أللهمّ ربنا لك الحمد, وأذا
سجد فاسجدوا ولا تسجدوا حتى يسجد, وأذا صلى قائما فصلوا قياما, وأذا صلى قاعدا
فصلوا قعودا أجمعون
Artinya: Sesungguhnya imam itu diangkat untuk dijadikan sebagai
ikutan. Apabila imam bertakbir, maka bertakbirlah, dan janganlah kalian bertak
bir sebelum imam bertakbir. Apabila ia telah mulai ruku’, maka ruku’lah, dan
jangan kalian ruku’ sebelum ia ruku’. Apabila ia mengatakan “sami’allahu liman
hamidah”, maka ucapkanlah: “Rabbana lakal hamdu”. Kalau ia mulai sujud, maka
sujudlah, janganlah kalian sujud sebelum ia sujud. Kalau imam sholat dengan
berdiri, maka sholatlah sambil berdiri. Kalau ia sholat sambil duduk, sholatlah
kalian semua sambil duduk juga.[19]
Dari hadis diatas dapat kita fahami bahwa setiap gerakan imam dalam
sholat akan selalu diikuti oleh makmumnya. Maka
dengan demikian, sangat dibutuhkan imam yang berkualitas, yakni imam
yang sangat bagus bacaan Al Qur’annya dan imam yang sangat memahami tata cara
sholat, sehingga gerakan sholatnya sesuai dengan tata cara yang diajarkan oleh
Nabi Muhammad SAW dalam hadisnya yang sudah dijelaskan oleh para ulama dalam
bidangnya masing-masing.
[1]
Siad bin Ali bin wahf Al Qaththani, Kriteria Imam Dalam Sholat Sesuai Dengan
Al Qur’an dan As Sunnah, Jakarta: Pustaka At Tazkia, 2010. Hal. 5
[2]
Ahmad Fathoni, Petunjuk Praktik Tahsin Tartil Al Qur’an Berbasis Teori
Praktek Pelatihan, Jakarta: Fakultas Ushuluddin Institut PTIQ, 2010, h. 1
[3]
Diriwayatkan oleh Al Bukhari, Abu Dawud, Darimi, Hakim dan Tamam Ar Razi dengan
dua sanad yang shahih
[4]
Diriwayatkan oleh Ad Darimi dan Ahmad dengan sanad yang shahih
[5]
Diriwayatkan oleh Muslim
[6]
Diriwayatkan oleh Muslim
[7]
Silahkan lihat dalam kitab Al halaqaturroabi’ah pada saat membicarakan
sunnah-sunnah sholat jum’at, pada halaman 74
[8]
Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam kitab Al adzan pada bab: menyempurnakan
shof berarti menyempurnakan sholat, no. 723
[9]
Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Ash Shalah pada bab meluruskan shof dan
menyempurnakannya, no. 433
[10]
Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam kitab Al Adzan pada bab ucapan: hendaknya
dalam perjalanan salah seorang menjadi muadzin, no. 628. Dan Muslim dalam
kitab Al Masajid wa mawadhi’ush shalah pada bab siapakah yang paling berhak
menjadi imam, no. 674
[11]
Di riwayatkan oleh Al Bukhari pada bab kalau sholat sendiri silakan
memanjang sholatnya sekehendak hati. No. 703. Dan muslim dalam kitab ash
shalah, pada bab perintah bagi para imam untuk melakukan sholat dengan
ringkas namun tetap sempurna, no. 467
[12]
Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam kitab Al Adzan, pada bab orang yang
mengadu bahwa imamnya terlalu panjang, no 795. Dan Muslim dalam kitab
ash-shalah bab: bacaan sholat isya, no 465
[13]
Diriwayatkan oleh Al Bukhari no 560 dan Muslim no 646
[14]
Silakan lihat Asy-Syarhul mumti’ Ala zaidil Mustqni oleh ibnu Utsaimin
[15]
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Ash Shalah pada bab melakukan sholat
sunnah ditempat ia sholat wajib, no
616
[16]
Diriwayatkan oleh Abi Syaibah dalam Al Mushannaf dalam kitab Ash Shalawat pada
bab pendapat yang memaksruhkan imam sholat sunnah ditempat sholat wajib
[17]
Syarah Muslim oleh Imam An Nawawi
[18]
Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam kitab Al Adzan pada bab imam menghadap
kearah makmum apabila sudah salam, no. 845
[19]
Diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim juga oleh Abu Dawud dengan lafaznya
dalam kitab Ash Shalah, pada bab imam sholat dengan duduk no 603
bermanfaat banget untuk referensi tugas saya, sukron.....:)
BalasHapusiya sama sama. semoga manfaat
Hapus